Senin, 02 April 2018

HADITS DAKWAH PERTEMUAN IX

Handout Materi ke 9
Mata Kuliah Hadits Dakwah

Hadits-hadits Rosulullah dalam memperhatikan pemahaman dan kondisi  jemaahnya



Hadits tentang Dakwah Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffarat Puasa.
Teks Hadist:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه البخاري)

Terjemah Hadist :

"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini. Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak? Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya seraya berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari.

Penjelasan Hadits :
Membaca hadist ini kemudian menghubungkannya dengan metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan hikmah. Jika kembali kepada keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu diantaranya terkait dengan kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kultural, maka hadist ini relevan sekali bagi penulis sebagai sampel praktik dakwah hikmah nabi. Dalam hadits tersebut ditunjukkan dialog antara seorang laki-laki mukmin selaku mad'u yang meminta fatwa tentang hukum agama, dan Nabi selaku da'i yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai pihak yang mengerti akan hukum-hukum agama.
 Pemahaman global terhadap Hadist ini akan mendorong pemikiran tentang pembenaran terhadap kemudahan hukum (syari'at) Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga aspek yang satu sama lainnya saling berkaitan, keimanan terhadap doktrin-doktrin agama (akidah), kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan (syari'at), dan budipekerti serta keteladanan (akhlak). Syari'at sebagai satu bagian dari inti ajaran Islam tidak terpisah dari dua aspek lainnya, lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan akhlak membentuk satu paket yang membentuk karakter seseorang agar memiliki keimanan yang kuat kepada Tuhannya.
Doktrin, merupakan dasar bangunan yang dengannya seorang mukmin diarahkan agar memiliki orientasi teologis-eskatologis. Melalui doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala eksistensi yang tampak bukanlah tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau sarana untuk menuju sesuatu yang lebih bernilai, yakni ketuhanan (transendental value) dan alam akhirat (life after death). Doktrin saja tidak cukup  karena wujudnya yang abstrak, lebih dari itu ia harus dikonkritkan dengan amalan-amalan real yang kaidah-kaidahnya telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan doktrin agama, amalan real itulah yang disebut dengan syari'at. Syari'at juga bukan tujuan agama yang sebetulnya, karena ia sekedar sarana untuk mewujudkan kesalehan mukmin dalam tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap lingkungan sekitar. Karena syari'at hanya sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki ketetapan-ketetapan baku karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan dinamis.
Aplikasi syari'at Islam sangat bergantung kepada situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Artinya, penerapan syari'at dalam situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi yang abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal istilah, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan logis penetapan hukum tersebut), atau kaidah al masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan situasi dan kondisi membawa kemudahan dalam penerapan hukum). Kedua kaidah hukum di atas sebetulnya ingin menegaskan, bahwa Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap seluruh ketetapan hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain manusia memiliki keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu Tuhan berfirman dalam kitabnya "….Allah tidak membebani manusia diluar batas kemampuannya…", juga berfirman "…Allah tidak menghendaki kesulitan atas kalian, tetapi menghendaki kemudahan…". 
Dalam kaitannya dengan dakwah, melalui watak dan fleksibilits hukum Islam da'i dituntut agar mampu memperkenalkan wajah Islam yang simpel. Karena pada hakekatnya ada tujuan yang lebih mendasar ketimbang hukum-hukum Islam yang formal, yaitu akhlak seorang mukmin kepada dirinya sendiri yang diwujudkan dengan kejujuran dan akhlak kepada Allah melalui usaha ketaatan yang maksimal. Dakwah tidak seharusnya terjebak dalam formalisasi agama sehingga kehilangan ruh dari agama itu sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat Yahudi, dikritik keras oleh al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari penyimpangan agama. Watak permisif yang terkandung dalam agama Kristen juga di kritik oleh Islam dan dinilainya menyimpang dari agama yang benar. Karena hal itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat Islam itu harus menjadi umat yang moderat (ummatan washatan), yang salah satu tafsirannya adalah moderat dalam hukum antara yang cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah juga mewanti-wanti umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti watak ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk kelobang biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.
Kasus Hadist di atas merupakan contoh dakwah dengan metode Hikmah, yang salah satu pengertiannya –seperti diungkap Sayyid Qutb – adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi mad'u dalam pelbagai aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan kehilangan ruhnya dalam memperkenalkan esensi Islam seperti yang dikatakan Nabi "…sesungguhnya aku di utus untuk membangun suatu pencarian kebenaran (hanifiyyah) yang lapang (samhah)…". Menurut Ibn Hajar al 'Asyqalani dengan mengutip pendapat 'Abd al Ghaniy dalam Mubhammat, laki-laki yang bertanya kepada Nabi mengenai hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn Sakhr al Bayadli. Lelaki ini dalam hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang memiliki kondisi ekonomi amat fakir, namun memiliki komitmen yang kuat terhadap agamanya. Hal demikian dibuktikannya melalui pengakuannya (confession) ketika ia melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan yang baku, orang yang berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya di siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang muslim diwajibkan untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika tidak sanggup maka alternatifnya adalah puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak sanggup juga, maka alternatif terakhir adalah memberi makan enampuluh fakir miskin. Dari ketiga alternatif hukuman yang diberikan Nabi, orang tersebut mengaku tidak sanggup menjalaninya. Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan kondisi mad'u yang dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan makanan kepadanya agar dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian, diakhir pengakuannya ia mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada orang yang lebih fakir darinya. Maka keputusan yang diambil beliau adalah menyuruh orang tersebut untuk mensedekahkan makanan pemberian beliau kepada keluarganya sebagai kaffarat.
Dari sudut pandang dakwah, keputusan yang diambil Nabi tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai kaffarat puasa sangat tepat dan dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan perwujudan dari ajaran al Qur'an bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali adalah kepada orang tua (keluarga),  jika ada kelebihan maka untuk kerabat, jika ada kelebihan maka untuk yatim, miskin, dan yang dalam perjalanan. Keputusan tersebut juga selaras dengan pernyataan lain dalam hadits bahwa sedekah (infak) yang paling baik adalah kelebihan dari kebutuhan pokok, dan sedekah tersebut harus dimulai dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga). Inilah contoh aplikasi dakwah dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan ilmu, dan ilmu itu diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan kondisi mad'u.

Hadist/Sunnah Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan Mad'u.
Teks Hadist:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Terjemah Hadist :

Dari Abu Hurairah RA., ia berkata Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih utama?..." jawab Rasulullah "…Iman kepada Allah dan Rasulnya…". Kemudian ditanya lagi, "…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di jalan Allah…", dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab "..haji mabrur…". HR. Bukhari.

Penjelasan Hadits :
Hal terkait berikutnya dengan dakwah hikmah adalah materi. Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu karakteristik dakwah hikmah adalah materinya harus pas dan cocok dengan kebutuhan mad'u, tidak overload yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani sebelum sanggup melaksanakannya. Jika demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan adanya kesesuaian antara penyampaian materi dan kemampuan subyektif mad'u. Penyampaian dakwah harus dalam batas yang dicounter oleh mad'u, baik secara pemikiran (pemahaman), maupun pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi "…ajak bicara manusia sesuai dengan kadar akal mereka…", agaknya mengacu kepada penekanan materi dakwah hikmah. Maksud dari ungkapan tersebut jika dikaitkan dengan dakwah berarti perintah untuk berdakwah dengan memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya, materi dakwah harus dapat dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif dan dapat dilaksanakan (aplicable) dari segi kemampuan pisik.
Hadist di atas memuat dialog antara Nabi sebagai da'i dan penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan apa yang paling utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut jawaban beliau adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mengikuti jihad dan haji mabrur. Menarik dalam pembahasan ini, karena penelusuran terhadap kitab-kitab hadits mu'tabarah ditemukan adanya hadits dengan redaksi pertanyaan serupa kepada Nabi. Hadits riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang sama, ditemukan jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa amalan yang utama adalah shalat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan baru kemudian jihad di jalan Allah. Sedangkan dalam Hadits Abu Daud dari 'Abdullah Ibn Hubsyi Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban Thul al Qiyam (memperpanjang raka'at dalam shalat).
Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan satu riwayat bahwa amal yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian mencoba untuk menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab satu pertanyaan yang sama tersebut, katanya masalah inilah yang membuat kesulitan pemahaman orang banyak. Selanjutnya Ibn Rajab mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar maslah ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang dimaksud di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu banyak, bukan semata-mata amalan utama itu sendirian. Pandangan kedua mengatakan bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan pertimbangan subyektif mad'u. Maksudnya jawaban-jawaban Rasulullah di sini merupakan amalan yang paling utama baginya secara khusus yang belum tentu menjadi amalan utama bagi lainnya.
Baik pandangan tentang sebagian dari amalan utama atau amalan paling utama secara khusus, keduanya berangkat dari perbedaan mad'u sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus disampaikan kepada mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, - lanjut Ibn Rajab- bukan berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan bertentangan satu dan lainnya. Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab, merupakan bangunan Islam yang lima (mabânî al khams) yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna dengan Iman, atau shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap penyebutan satu kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori lainnya (mabâni al khams bi jumlatiha). Ulama ini kemudian mengutip hadits nabi berikut "empat hal yang tiga di antaranya tidak diterima kecuali dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji" HR Ahmad. Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn Yaman, bahwa jihad seperti juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan bagian Islam (sahm min sihâm al islâm) yang bersama-sama dengan mabâni' al khams membentuk pilar-pilar penegak Islam. Oleh karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa menyertakan antara keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al Hujarat/49: 15 yang terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan Harta dan jiwanya…" atau dalam firman Allah QS al Shaf/61: 11 yang terjemahannya demikian " engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan harta dan jiwa kalian…". Dengan hubungan seperti ini, maka dapat dipahami jawaban Nabi tentang jihad sebagai amalan yang paling utama setelah keimanan.
Adapun jawaban Nabi tentang perbuatan baik terhadap kedua orang tua sebagai amalan yang paling utama, karena perbuatan tersebut termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al 'ibâd). Sementara mabâni' al khams seperti yang dijelaskan di atas merupakan hak Allah (huqûq Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada keterikatan kuat antara hak Allah dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna satu tanpa lainnya. Artinya, penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh penunaian hak hamba tidak akan menjadi amalan yang paling sempurna. Itulah sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud, penyebutan berbuat baik kepada orang tua sebagai hak hamba dijelaskan setelah penyebutan shalat yang merupakan hak Allah. 
Keterkaitan materi tersebut adalah hal yang mesti dipahami dan dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika dihadapkan oleh pertanyaan mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokkan antara materi dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang diberikan adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar logika ini, maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan jawaban Nabi atas pertanyaan mad'unya merupakan jawaban khusus dengan mempertimbangkan subyektifitas sipenanya. Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat ketika dihadapkan kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu dan telah lama masuk Islam. Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih memiliki orang tua, namun baru belakangan masuk Islam sehingga masih perlu untuk dimotivasi akan arti Iman dan jihad. Demikian itu salah satu contoh lain dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang diajarkan rasul kepada juru dakwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HADITS DAKWAH PERTEMUAN KE 11

HADITS HADITS TENTANG KEUTAMAAN DAKWAH HADITS HADITS YANG BERKAITAN DENGAN KEUTAMAAN DAKWAH   A.     Dakwah adalah Muhimmatur Rus...